MEMBANGUN MORALITAS PEMASAR BERBASIS NURANI
Belajar Dari Kasus Coca Cola
Beberapa waktu yang lalu, kita bersama di milist membaca sebuah fenomena tentang “11 alasan mengapa tidak mengkonsumsi Coca Cola”. Bagi seorang ‘pemasar pemula’ atau bahkan mungkin di ‘kalangan akademisi’ hal ini sudah pasti merupakan sebuah isu yang begitu menarik perhatian, menghabiskan ‘banyak energi’ dan dijadikan topik kajian untuk dibahas diberbagai kesempatan. Namun di kalangan ‘pemasar profesional’ dan ‘praktisi’ ini merupakan hal yang ‘sangat biasa’, bahkan dapat dinggap sebagai sebuah kasus yang ‘sangat wajar’ di dunia pemasaran dan ‘dapat dimengrti’ terjadi untuk sebuah produk ‘Market Leader’. Akan tetapi untuk sebuah pembelajaran, harus saya akui bahwa terlepas dari apapun ‘fenomena ini’ cukup menarik. Perkenankan saya dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman mencoba mengkaji hal ini dari beberapa sudut pandang, tentunya dengan harapan semoga kita semua, terutama ‘generasi muda pemasar’ dapat belajar memahami fenomena ini dan ‘belajar dari pengalaman’ tanpa sedikitpun bermaksud membela merek tersebut, karena tanpa tulisan ini pun saya yakin bahwa Coca Cola itu adalah Excelent of Brand
Jika kita mau ‘meluangkan ingatan’ kemasa lalu dan menoleh sedikit ke belakang, maka kasus ini bukanlah kasus pertama terjadi di dunia pemasaran. Ada beberapa kasus fenomenal yang bahkan melebihi apa yang di alami oleh “Soft Drink, terutama Coca Cola” saat ini. Sengaja saya garis bawahi, karena sejarah pemasaran mungkin telah mencatat bahwa pegeseran, materi ‘black campaign’ memang terjadi. Pada awalnya ketika pertama kali dipublikasikan, materi tersebut diberi judul ’11 alasan mengapa tidak minum Soft Drink’ yang memang pada saat itu sangat merajai pasar dengan market share lebih dari 80%. Seiring dengan berjalannya waktu, materi itu kemudian ber-replikasi menjadi ’11 alasan mengapa tidak minum Coca Cola” yang tak satupun orang meragukan keperkasaannya ‘merajai pasar’ soft drink hingga saat ini, dan menjadi barometer keberhasilan sebuah produk minuman di seantero jagad. Jadi sangat tidak berlebihan jika saya pun harus mengakui merek Coca Cola sebagai “Produk Market
Leader Sejati”.
Kasus-kasus ini juga dialami oleh beberapa produk ‘market leader’ farmasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu pada produk-produk Tempo Group, walau dalam tataran yang agak berbeda. Pada suatu ketika kita dihebohkan oleh edaran, yang disebar berupa selebaran maupuin di milist yang ‘seolah-olah’ dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) tentang produk obat-obatan yang ‘haram’ dikonsumsi karena mengandung zat-zat yang dianggap berbahaya dan dilarang penggunaannya. Tindakan ini bisa dikatakan ‘pengecut’ dan ‘premanisme pemasaran’ karena tidak dilakukan dengan elegan dan menggunakan jalur-jalur resmi di media massa, baik media cetak maupun elektronika. Namun dengan sangat mudah dan cepat isu tersebut dapat diklarifikasi dengan cepat, dan hebatnya klarifikasi itu tidak dilakukan oleh pihak ‘Korban’ Tempo Group sebagai distributor/pemegang lisensi produk, tetapi disampaikan langsung oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Badan POM. Dapat di duga bahwa ‘kemunginan besar’ bahkan sangat mungkin hal ini dilakukan oleh kompetitor terdekat dan dapat di kategorikan sebagai ‘Produk Market Follower’. Sehingga merupakan gambaran keputus-asaan ‘market follower’ menghadapi ‘market leader’ berkenaan dengan hal paling krusial dalam pemasaran, yaitu HARGA!
Market Leader VS Market Follower
Posisi sebagai market leader atau bukan, juga jadi faktor yang menentukan kapan saat yang tepat untuk menentukan harga. Market leader punya keleluasaan untuk bertindak sebagai inisiator menaikkan harga di pasar, karena posisi yang solid dan Konsumen tidak dengan begitu saja beralih akibat adanya kenaikan harga, dengan catatan masih pada tingkat yang lumrah. Jika sebuah produk termasuk kategori market follower, maka sesungguhnya yang bisa dilakukan hanyalah ‘wait and see’ terhadap action yang dilakukan oleh leader. Akan berdampak serius apabila follower menaikkan harga, sedangkan ternyata pesaing utama tetap mempertahankan harga. Situasi ini justru akan mempersulit posisi di pasar. Dan tidak dapat diabaikan bahwa benchmark sebuah produk adalah market leader. Padahal secara biaya, kemungkinan biaya produksi per kapita produk follower mungkin lebih besar dari pada produk leader. Dan salah satu dari ’tindakan keliru’ yang bisa dilakukan adalah men-develop sebuah materi ’black campaign’ dan di komunikasikan ’secara tidak elegan’ pada konsumen ’produk market leader’
Kembali ke bahasan awal, Seberapa jauh kebenaran isu Coca Cola tersebut, ditinjau dari sisi keilmuan? Apakah ’Black campaign’ itu merupakan tindakan efektif? lalu seberapa besar pengaruh ’Black Campaign’ itu terhadap penjualan Coca Cola? dan apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ini merupakan satu-satunya ’fenomena Black Campaign’? Sejauh ini, apa yang bisa kita petik?
Di hampir semua negara termasuk Indonesia berlaku ketentuan yang sangat ketat untuk sebuah produk yang akan memasuki pasar. Berbagai produr ketat harus dilalui untuk memperoleh nomor registrasi dari Badan Pemeriksa Obat dan makanan (BPOM-RI) sebelum produk tersebut diedarkan di pasar. Jadi dapat dikatakan, jika sebuah produk dinyatakan lolos dan mendapatkan nomor registrasi, maka produk tersebut dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat dan pemerintah menjamin keamanan produk tersebut. Untuk produk dalam negeri yang lolos uji diberi nomor registrasi yang dapat kita lihat pada kemasan produk BPOM MD XXXXXXXXXXXXX sedangkan untuk produk impor BPOM RI ML XXXXXXXXXXX. Dalam arti yang dipersempit bolehlah jika pemerintah selalu ingatkan... Sebelum anda memutuskan untuk mengkonsumsi sebuah produk, yakinkan produk itu telah memiliki MD atau ML dengan mengabaikan ingredien/komposisi. Pemerintah sangat menyadari bahwa tidak semua konsumen mengerti dengan ingredien/komposisi sebuah produk. Hal ini tentunya dapat dipahami karena tidak semua konsumen adalah ahli gizi dan memeiliki pengetahuan tentang pangan. Dan untuk memberi kenyamanan bagi masyarakat maka MD/ML adalah sebuah jaminan atas keamanan produk untuk dikonsumsi, dan lebih dari itu MD/ML juga merupakan representasi bahwa semua ’khasiat’ yang tercantum dalam sebuah kemasan sudah sesuai dan dapat dipertanggung jawabkan. Kalaupun sebuah produk itu mengandung pemanis buatan, pengawet, bahkan zat additif lainnya, maka dengan adanya MD/ML pada produk mengindikasikan bahwa kadar zat-zat tersebut berada pada batas tolerasi yang aman untuk dikonsumsi, dan hal ini dipantau dengan ketat oleh pemerintah dengan melakukan uji terhadap sampel yang beredar secara kontinyu di pasar dan melakukan pengujian lab secara berkesinambungan sehingga bener-benar aman dikonsumsi. Demikian pun dengan Coca Cola, dengan MD pada kemasan yang tertera, maka hal ini mengindikasikan sebuah jaminan bahwa produk tersebut sangat aman dikonsuimsi dan sekali lagi, DIJAMIN OLEH PEMERINTAH!
Lalu apalagi? Apakah kita masih berfikir bahwa Coca Cola seperti yang dinyatakan oleh isu tersebut?. Sebagai merek yang sudah dikonsumsi dan beredar sepanjang tiga zaman, menemani dan menjadi sahabat kehidupan masyarakat dunia dari generasi ke generasi, berinovasi sebagai produk yang cerdas sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan, maka sungguh ’sebuah berita’ yang sangat sulit diterima kebenarannya, karena sepanjang produk itu itu, tiga generasi paling tidak mengakui ’eksistensinya’ sebagai produk yang customer centric.
Fenomena Ekuitas Merek Produk Market Leader
Telah sering kita bahas, tentang betapa pentingnya membangun ekuitas sebuah merek, dan menjadikan produk itu customer focus bahkan consumer centric. Jika kita berafiliasi untuk menciptakan penjualan dan memenangkan pasar, maka perlu sadari bahwa sebuah merek ’tidak akan pernah besar’ jika tidak dikelola dengan ’kebesaran hati’. Sustainable sales hanya terjadi pada sustainable competitive advantadge. Mungkin sudah saatnya kita memulai sebuah gerakan moralitas pasar dengan membangun ’etika-etika yang terukur’ sebagai seorang pemasar, sehingga ketika kita menjejakkan langkah sebagai pemasar, maka hal itu didasari atas niat baik, keihklasan sebagai manusia dan mengharap ridha ALLAH semata. Paling tidak semua aktivitas pemasaran yang kita lakukan ’bernilai ibadah’ dan memiliki ’nilai kebanggaan’ sebagai seorang pemasar. Jika kita memiliki kedua nilai tersebut maka kita tidak hanya memiliki peluang dan kesempatan membangun ekuitas sebuah merek, namun lebih dari itu
’membangun ekuitas kita sebagai pemasar dan manusia’ sehingga setiap hasil yang kita raih adalah ’prestasi terbaik’ sepanjang hidup.
Ekuitas merek yang baik selalu dihasilkan oleh ekuitas pemasar yang baik, demikian pun sebaliknya dan hanya merek dengan ekuitas baiklah yang mampu menciptakan sustainable of sales dan memenangkan sustainable competitive advantadge. Tidaklah penting menjadi market leader ataupun tidak, yang penting adalah menciptakan pasar, membangun pasar, mengelola konsumen dan mendidik mereka menjadi pelanggan yang loyal dengan tingkat kepuasan yang maksimal. Perlu disadari betul oleh setiap pemasar bahwa menjadi market leader dalam pikiran pelanggan, jauh lebih baik dan berjangka panjang daripada menghalalkan semua cara menjadi market leader, namun hanya sesaat dan berjangka pendek. Tidak sedikit produk yang mendadak muncul menggebrak pasar, mendominasi jalur distribusi, ’awareness’ yang begitu baik, mencatat penjualan tertinggi, dan menjadi market leader. Namun dalam jangka waktu yang tidak lama, tidak sampai berbilang tahun, produk tersebut dalam waktu singkat menjadi market follower dan lambat laun hilang dari pasar. Apa yang sesungguhnya terjadi? Produk itu ternyata keliru menyikapi sebuah dinamika, menguasai pasar tanpa menguasai ’hati pelanggan’. Waktu akan membuktikan bahwa merek yang dibangun dengan kepercayaan yang tinggi, menjaga komitmen dengan pelanggan, meguasai hati mereka dan menjadikan mereka sebagai ’aset tak ternilai’ adalah merek dari masa depan. Merek itu tidak akan pernah meluaskan pasar sebelum yakin bahwa pasar yang dikelola saat ini satisfied dan kepuasan itu terukur secara kuantitatif, dapat dipertanggungjawabkan oleh pemasar secara moril.
Nasehat Untuk Pemasar dan ’Calon Pemasar’
Pemasar juga menggambarkan personality sebuah produk. Pemasar ’tahan bating’ selayaknya tidak hanya memiliki sebuah keahlian menjual, tapi lebih dari itu, dinantaranya :
- Mencari fakta-fakta (riset pasar)
- Membuat peramalan dan penelitian (forecasting)
- Menjalankan perubahan-perubahan yang terjadi akibat penelitian (pengembangan poduk baru).
- Meyakinkan bahwa produk-produk itu adalah apa yang dikehendaki oleh pelanggan (manajemen merek).
- Memutuskan tentang kuantitas (penyusunan anggaran).
- Memutuskan dengan harga berapa barang dijual dan dengan keuntungan berapa (kebijakkan penentapan harga).
- Menyalurkan tempat dari pembuatan ke tempat pemakaian (distribusi).
- Penjualan (manajemen penjualan)
- Mengajak lewat komunikasi (pengiklanan).
Coba kita simak dengan seksama apa yang disampaikan oleh Hermawan Kertajaya, tentang 10 (sepuluh prinsip-prinsip) pemasaran, yaitu :
1. Love your customer, respect your competitor.
2. Be sensitive to change, be ready to transform
3. Guard your name be clear who you are
4. Customers are divers go first to who really need you
5. Always offer a good product at a fair price
6. Be always available and spread the good news
7. Get your customers and keep grow the business with them
8. What ever your business is a service business
9. Always refine your process in term of quality, cost and delivery
10. Gather relevan information but make decisions bases on your wisdom
Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menjelek-jelekan sebuah produk. Tanda-tanda kejatuhan seorang pemasar adalah ketika dia tidak mampu menguasai knowledge dari produk yang di pasarkan, ketika dia berhasil ’menjelek-jelekan’ produk pesaing dimata konsumen, ketika dia bangga karena akan keberhasilannya memanfaatkann ’keterbatasan pengetahuan konsumen’ untuk menciptakan penjualan, danketika dia selalu fokus mengkomunikasikan kekurangan produk pesaing dibandingkan keunggulan produk yang dia jual, dan ketika dia ’mengamini’ sebuah ’fitnah’ atas sebuah produk. Dari sisi membangun ’awareness’ pun demikian. Akan lebih bijak jika kita menggunakan alokasi biaya promosi untuk mengkomunikasikan produk secara jujur kepada pelanggan, daripada digunakan untuk mengkomunikasikan ’aib’ produk kompetitor yang ’belum tentu benar’.
Kalaupun hal ini merupakan sebuah kebijakkan yang harus diambil, maka ingatlah satu hal, jangan sekali-kali anda melakukan kampanye menyerang sebuah produk kompetitor, terutama ’market leader’ dengan ekuitas yang sangat terukur/teruji, sebelum anda yakin bahwa ekuitas merek yang anda jual/kelola diukurv terlebih dahulu. Karena jika hal ini anda lakukan juga, maka sungguh anda telah membuat bumerang untuk produk anda sendiri, karena anda tidak hanya akan berhadapan dengan produk leader tersebut, melainkan juga konsumennya. Pelanggan yang loyal tentu tidak akan tinggal diam, mereka akan aktif mencari informasi tentang ’kebenaran sebuah berita’ dan ketika mereka memperoleh informasi dari pihak yang ’otoritasnya dipercaya’ seperti BPOM, maka seketika konsumen anda diakuisisi dengan sangat mudah oleh leader tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, dan anda akan menyadari ’betapa mahalnya harga sebuah akuitas’. Apapun yang anda lakukan untuk memperbaiki keadaan, hampir tak ada
gunanya, kecuali merubah merek yang anda jadikan ikon untuk kampanye negatif tadi, memulai kembali membangun pasar yang tentunya sudah semakin padat. Demikian pun, ekuitas anda sebagai pemasar akan turun drastis pada tingkat terendah, dan nilai anda sebagai manusia pun hampir tidak ada.
Jadilah pemasar sejati, pemasar yang tidak hanya memasarkan produk dan memabngun ekuitasnya, melainkan juga memasarkan nilai-nilai akhlak dan membangun ekuitas dirinya dan manusia-manusia lain yang menjadi pelanggan. Sehingga semua proses berlangsung dengan tulus dan ikatan emosi yang tinggi. jika ini terjadi maka anda tidak hanya menguasai pikiran pelanggan dan tidak hanya menguasai hati pelanggan, namun anda telah ’menguasai hidup’ pelanggan. Anda telah menciptakan konsumen yang like the brand dan commited buyer, dimana pelanggan adalah ‘pemasar tak bergaji’ bagi produk anda, karena mereka akan merekomendasikan produk anda pada setiap orang, dan tidak ada cara paling efektif di dunia untuk meningkatkan penjualan, bahkan jika dibandingkan dengan iklan dan cara apapun dan seberapapun mahalnya, di bandingkan sebuah rekomendasi.
Demikian uraian saya, sekali lagi saya mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan atas segala ’kelalaian intelektual’ yang termaktub tulisan ini. Saya yakin diantara komunitas terhormat ini, terdapat banyak sekali orang dengan pemahaman yang penuh kedalaman. Paling tidak sayapun dapat belajar dari anda semua, tentang sesuatu yang selama ini yang saya pahami, dan karena keterbatasan saya sebagai manusia.
Terima kasih, mohon maaf dan salam.
No comments:
Post a Comment