Pemimpin Sama Dengan Pemulung
Penulis: GedePrama
Salah satu profesi yang sering mengganggu kebersihan lingkungan, namun tidak tega untuk saya tolak kehadirannya karena alasan kemanusiaan, adalah profesi pemulung (pengumpul barang bekas). Setelah sampah dikumpulkan, dibungkus plastik secara rapi agar pengangkut sampah bisa bekerja lebih efisien, eh tiba-tiba ada orang datang yang membongkar bungkusan plastik, mencari barang bekas, dan membuat semuanya berantakan kembali. Tanggung jawab memang acap kali diabaikan oleh profesi terakhir. Bayangkan, setelah diberikan kesempatan mencari barang bekas, setelah selesai bukannya dikembalikan ke posisi semula, malah dibiarkan berantakan.
Tidak terhitung jumlah manusia pencinta kebersihan dan lingkungan yang sangat menyesali perbuatan sejumlah oknum tukang pemulung.
Dalam setting yang kurang lebih sama, tanpa banyak disadari orang, tidak sedikit pemimpin yang perilakunya sama dengan pemulung. Sama-sama mengumpulkan barang bekas. Sama-sama memiliki tangan kotor. Dan sama-sama lupa tanggungjawab.
Mari kita mulai dengan ciri pertama : pengumpul barang bekas. Bila pemulung hanya mengumpulkan barang bekas, banyak pemimpin yang perilaku belajar dan pengambilan keputusannya yang mengumpulkan pengetahuan dan informasi bekas. Coba cermati apa yang dimaksud banyak pemimpin dengan kata "mengetahui" yang sering digunakan sebagai basis keputusan. Bukankah ia berarti proses pengumpulan pengetahuan dan informasi sudah dianggap cukup ? Atau, lihat kembali apa yang mereka sebut informasi. Tidakkah ia merupakan kumpulan kejadian yang terjadi kemaren dan hari sebelumnya ? Bila demikian, adakah perbedaan kreativitas secara fundamental antara pemimpin dengan pemulung yang sama-sama hanya menjadi kolektor, tanpa penambahan creative value ?
Sebagai konsekwensinya - kita sedang memasuki ciri kedua - bila pemulung tangannya teramat kotor, maka pemimpin dengan perilaku keputusan di atas sulit bisa diharapkan untuk memiliki kejernihan dan kebersihan berfikir. Dari mana datangnya kejernihan berfikir, bila setiap hari terbelenggu oleh proses pengumpulan yang tidak pernah berakhir ? Lebih dari itu, pengetahuan dan informasi yang dikumpulkan dari manapun, tidak bisa dihindari bisa menghalangi proses observasi yang segar. Bahkan bisa menimbulkan ketumpulan-ketumpulan berfikir.
Coba bayangkan sekumpulan ikan yang telah lama hidup di aquarium. Demikian lamanya mereka hidup di sana, sampai-sampai ada yang bertanya "apa itu air ?". Lain halnya dengan ikan yang baru saja dimasukkan ke situ, dengan sangat jernih ia bisa berargumen, bahwa tempat mereka hidup itulah air. Penyakit yang sama juga menghinggapi banyak pemimpin kini. Demikian terbelenggunya mereka dengan keyakinan lama, sampai -sampai salah seorang pemimpin Golkar (sebuah organisasi yang nyata-nyata membuat negeri ini bangkrut) bertanya kalau-kalau mereka punya salah.
Tanggungjawab, sebagai ciri terakhir yang membuat pemimpin dan pemulung itu sama, tentu saja susah diharapkan dari sini. Bila pengetahuan bekas yang mereka peroleh berasal dari senior yang nyata-nyata tidak pernah bertanggung jawab, lebih-lebih sang yunior tidak pernah jernih untuk menyeleksi mana yang benar, maka terjadilah proses bola salju yang membuat tanggungjawab semakin memalukan dan memalukan.
Terlepas dari tiga faktor yang membuat kedua profesi ini mirip, sebenarnya "dosa" pemulung itu lebih kecil dibandingkan dengan pemimpin. Pemulung, sebagaimana kita tahu, hanya menyakiti hati pencinta kebersihan. Pemimpin, di lain sisi, disamping menyakiti hati masyarakat lebih luas lewat tanggungjawabnya yang memalukan, juga sedang melakukan bunuh diri tanpa disadari.
Persoalannya, dengan menjadi pengumpul pengetahuan dan informasi bekas, dan pada saat yang sama tidak memiliki kejernihan berfikir, maka praktis mereka hanyalah sekumpulan "mayat", yang karena rasa malu yang sudah habis, kemudian menyebut diri menjadi pemimpin.
Bercermin dari ini semua, belajar - bagi saya - adalah sebuah kegiatan yang bersifat non akumulatif. Sebab, sumber daya kreatif kita sebagai manusia berpotensi jauh lebih dahsyat dari sekadar mengumpulkan dan mengingat. Jauh lebih dalam dari ingatan yang usang, tersembunyi kejernihan, kesegaran, kreativitas yang selama ini dibuat minggir oleh kebiasaan belajar dan kebiasaan keputusan ala pemulung.
Coba perhatikan inovator-inovator besar seperti Einstein, James Watt, Thomas A. Eddison, Bill Gates dan manusia sejenis. Kebesaran mereka tentu tidak terletak pada belenggu yang dihadirkan oleh kegiatan mengumpulkan pengetahuan bekas ala pemulung. Namun, melompat ke depan melampaui apa-apa yang sudah lewat dan menjadi barang bekas.
Amati kembali lompatan-lompatan peradaban yang pernah dialami manusia. Dari pesawat terbang, manusia sampai di bulan sampai dengan jaringan manusia yang mendunia melalui internet. Bukankah semua ini bisa terjadi karena ada segelintir manusia yang berani keluar dari kebiasaan berfikir dan bekerja ala pemulung ?
Jadi, kalau tidak mau menjadi pemulung informasi dan pengetahuan, anggap saja Anda baru selesai membaca artikel yang ditulis oleh manusia terbohong di dunia.
No comments:
Post a Comment