Sunday, September 03, 2006

ISNIS STRATEGI DAN PEMASARAN IMPLIKATIF
MEMBANGUN ASET PALING BERHARGA

Produk adalah barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman.

Stephen King, CEO WPP Group, London

Di sebuah kawasan kota tua Bandung berjajar sejumlah factory outlet. Pada setiap akhir pekan atau musim libur, betapa sulitnya mencari parkir di sana. Hampir semua toko dijejali pembeli. Begitu penuhnya, hingga pembeli tak leluasa memilih barang.Di sini kita bisa membeli busana bermerek dengan harga miring,� ujar salah seorang pembeli yang baru saja keluar dari sana.

Merek memang telah menjadi mantra sakti pendongkrak produk. Sebuah baju buatan Pasar Kemis, Tangerang, berlabel premium harus ditukar dengan beberapa lembar Rp 100 ribu. Namun produk buatan pabrik yang sama, dengan bahan, model, potongan, jahitan, warna ataupun ukuran yang sama, tapi diberi merek lain, harganya jatuh hingga beberapa puluh ribu rupiah saja sekitar 10% dari produk berlabel premium tadi. Di Bandung, sebuah pabrik rumahan memproduksi sepatu wanita untuk merek premium Escada yang dijual di New York dengan harga tak kurang dari US$ 800. Dengan desain dan bahan yang sama, sepatu itu dijual di Bandung dengan merek sendiri (inisialnya F). Harganya? Untuk partai besar kami lepas dengan harga Rp 80 ribu,kata M, pemiliknya.

Berkat merek, produk yang sama bisa berharga berbeda. Seperti kata Stephen King di atas, merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. Tegasnya, konsumen cenderung membeli merek, bukan produk. Produk telah menjadi sekadar komoditas yang bisa ditiru dan dibuat siapa saja, sementara merek merupakan aset tak berwujud (intangible asset) yang digdaya dalam memberi nilai tambah, dan secara hukum dilindungi dari peniruan. Konsumen merasa lebih bergaya, bergengsi, dan bermartabat bila mengenakan merek tertentu. Tak heranlah, Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut peranan merek sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda di era ekonomi citra (the image economy) kini.

Pentingnya peran brand inilah yang membuat kami tak jemu mengangkat topik ini dan melengkapinya dengan ajang khusus penganugerahan Indonesian Best Brand Award (IBBA), yang tahun ini adalah yang kelima kalinya. Seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya, untuk mengukur nilai merek (brand value) ini kami bekerja sama dengan MARS lembaga survei pasar yang reputasinya telah teruji.

Nilai suatu merek diukur dari 6 variabel, yakni:
(1) popularitas merek (brand awareness);
(2) popularitas iklan (ad awareness);
(3) nilai merek (brand value), yang diukur dari persepsi atas kualitas merek itu (perceived quality);
(4) tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan (satisfaction & loyalty index);
(5) pangsa pasar (market share); serta
(6) potensi merek untuk mengakuisisi konsumen di masa depan (gain index). Nilai merek sendiri merupakan hasil menyeluruh dari perolehan pada ke-6 variabel ini setelah dilakukan pembobotan.

Dari hasil survei yang dilakukan di lima kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan) ini kita dapat mengetahui posisi, perubahan, dan persaingan setiap merek dengan merek lainnya pada setiap elemen yang diukur. Kita harus waspada dan menciptakan nilai tambah baru bila posisi kita didekati apalagi bila disalip pesaing.

Bila nilai gain index kita tinggi, kita boleh lega karena ini berarti merek kita berpotensi merebut konsumen yang selama ini menggunakan merek lain. Namun untuk mengubah potensi tadi menjadi realitas, tentu saja kita harus mampu meyakinkan potential customer agar menjadi actual customer. Misalnya dengan memberikan nilai tambah dan benefit yang lebih baik lagi. Sebaliknya, bila gain index kita rendah (apalagi negatif), ini berarti kita harus segera bertindak. Itu merupakan early warning sistem yang memberi sinyal akan adanya kompetitor yang berpotensi merebut pelanggan kita.

Mengucurkan investasi guna membangun merek yang kuat bukanlah suatu pemborosan apalagi kesia-siaan. Pada bagian lain rangkaian Sajian Utama ini Anda bisa menyimak bagaimana mereka-merek yang kuat membendung serangan lawan dan menguasai pangsa pasar.

Meski dikepung Star Mild, Marlboro Lights, Clas Mild dan LA Lights, Sampoerna Mild tetap berjaya. Begitu pula Indomie tetap bertengger di puncak singgasana meski diserang Mie Sedaap habis-habisan.

Dengan penilaian terhadap merek yang relatif menyeluruh ini, tak berlebihan bila IBBA dikatakan sebagai barometer kekuatan merek yang berkelanjutan. Dengan data konkret yang dihimpun dari pasar ini, perusahaan tak perlu lagi hanya mengandalkan feeling, sehingga tahu bagaimana seharusnya memperlakukan mereknya ke depan. Di tengah persaingan yang sangat ketat dan dinamis, alat ukur seperti ini sangat diperlukan. Pentingnya kepedulian terhadap merek menjadi semakin mendesak melihat tren terjadinya komoditasi produk.

Simak saja kenyataan di pasar, hampir tak ada pembeda signifikan antara suatu produk dengan produk lainnya. Bahan, kandungan atau komponen hampir sama; desain, potongan, warna, rasa, bahkan kemasan, juga tak banyak berbeda; distribusi pun praktis menggunakan saluran yang sama. Alhasil yang terjadi adalah perang harga untuk berebut pelanggan. Atau meminjam istilah W. Chan Kim dan Ren�e Mauborgne dalam Blue Ocean Strategy, kebanyakan produsen tercebur di Red Ocean yang tengah dilamun badai dan Tsunami karena kompetisi ketat.

Merek adalah salah satu faktor pembeda yang bisa menggiring kita menuju Blue Ocean, samudra yang tenang dan damai yang jauh dari gelombang, di mana kita tak terusik karena punya keunggulan yang tak dimiliki merek lain. Tak heranlah, Kim dan Mauborgne memberi anak judul bukunya How to Create Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevant. Tentu saja, untuk menciptakan merek yang kokoh seperti ini ada jalan panjang yang harus ditempuh. Kita harus mengembangkan produk yang berbeda (diferensiasinya jelas), berkualitas (brand value dan perceived quality) unggul, sehingga bisa memosisikan produk dengan baik dan membidik pasar yang menguntungkan. Pendek kata, kita harus menjalankan semua bauran pemasaran dengan baik, dan tak kalah penting memberikan layanan prima.

Ingat, pelanggan di masa kini adalah pelanggan yang sangat penuntut (demanding) dan berkiblat pada nilai (value oriented). Mereka tak ragu menggesek kartu kreditnya bila puas terhadap merek yang dibelinya. Buktinya? Lihat saja premium brand. Misalnya antara merek Escada dengan merek F di atas. Atau berbagai merek yang kini membuka franchise di seantero penjuru dunia. McDonald�s dan Pizza Hut tetap dipenuhi pelanggan setianya meski banyak pilihan lain tersedia. Di skala lokal, ada Bakmi GM yang selalu diantre pelanggannya pada jam-jam makan siang.

Kenyataan bahwa ada sejumlah merek lokal (Kecap Bango, AdeS, dan sebagainya) yang diakuisisi pemain global (Unilever, The Coca-Cola Company) dengan harga (sangat) mahal jauh di atas nilai pabrik dan investasi produksinya merupakan fakta pentingnya merek dalam penetrasi pasar yang overcrowded.

Jangan buru-buru gentar karena berasumsi untuk membangun merek yang kuat butuh investasi gila-gilaan. Di bagian lain dari rangkaian Sajian Utama itu kami kupas bagaimana cara efisien membangun merek yang kokoh. Kalau bisa murah, kenapa pilih yang mahal?


PUSTAKA
Poeradisastra, Teguh. 2006. Membangun Aset Paling Berharga.

No comments:

Post a Comment