Thursday, October 19, 2006

[sekolah-kehidupan] (artikel) Padamu Aku Salut

Pak, Gramedianya sudah lewat yah?, tanya saya pada sopir angkot.
Maklum, saya baru sekitar 2 minggu di Bandung. Jadi rute angkot di Bandung belum terlalu hafal.

Wah, neng salah, tadi neng naiknya dari mana?, tanya beliau
Saya menyebutkan nama suatu tempat di kota Bandung.

Oh, seharusnya tadi neng nyebrang, terus naik angkot yang ini juga. Sekarang gini aja, neng nanti turun di terminal depan, terus naik angkot yang seperti ini tapi yang paling depan supaya gak lama nunggunya, jelas bapak sopir angkot itu akhirnya.

Gitu yah, pak, makasih yah pak., lanjut saya sambil menyerahkan sejumlah uang untuk ongkos angkot.
Dan kemudian saya pun berjalan menuju angkot yang ditunjukkan oleh bapak sopir angkot tadi.

Lewat gramedia yah, pak?, saya kembali bertanya pada sopir angkot yang akan saya naiki.

Iya, neng.
Mendengar jawaban bapak sopir angkot tersebut, akhirnya saya melangkahkan kaki saya, menaiki angkot tersebut.

Pak, nanti kalau udah nyampai gramedia, saya dibilangin yah, pak.

Neng, baru yah di Bandungnya?, tanya beliau
Mungkin beliau heran dengan sikap saya bertanya seperti itu.

Iya, pak. Tadi saya juga naik angkot ini tapi ternyata saya salah naik., jelas saya

Memangnya neng naiknya darimana?
Saya kembali menyebutkan nama suatu tempat di Bandung.

Oh, yah benar, kalau dari sana neng seharusnya nyebrang dulu baru naik angkot yang seperti ini, jelas beliau

Kalo dari Gramedia menuju ke tempat kos saya naik apa yah pak?, saya bertanya kembali.

Angkot ini juga neng, tapi neng harus berjalan dulu menuju persimpangan. Nanti saya beritahu supaya neng gak bingung., akhirnya beliau berkata.

Dan benarlah, sesampainya di persimpangan yang beliau maksud, beliau langsung memberitahu saya kalau saya harus naik angkot yang sama dari persimpangan tersebut. Dan kemudian, ketika di depan pintu masuk gramedia, beliau juga mengingatkan saya kalau saya telah sampai di tempat yang saya tuju.
Ucap syukur memenuhi ruang hati saya. Hari itu, saya telah dipertemukan oleh Allah dengan dua orang yang jujur. Dua orang yang mempunyai profesi yang sama. Sebagai sopir angkot.

Saya fikir, kejadian yang saya alami di atas adalah sebuah kebetulan belaka. Ternyata tidak. Di suatu hari yang lain, ketika saya akan menuju ke sebuah tempat untuk menghadiri sebuah seminar, kejadian di atas terulang kembali. Saya juga naik angkot yang salah. Akhirnya, saya turun di sebuah tempat yang lumayan jauh dari tempat yang seharusnya saya tuju. Dan dengan berbekal keberanian, saya bertanya pada seorang bapak yang berada di dekat tempat saya turun. Beliau kemudian menjelaskan angkot yang seharusnya saya naiki untuk menuju tempat yang saya tuju. Kembali, saya bertemu dengan sopir angkot yang jujur, yang mengiyakan kalau angkot yang akan saya naiki memang menuju tempat yang akan saya tuju.

Di hari yang lain, peristiwa salah naik angkot kembali menjadi bagian cerita hidup saya. Kali ini, bukan hanya persoalan saya harus nyebrang atau tidak sebelum naik angkot, tapi saya benar-benar salah naik angkot. Dan kembali lagi, kejujuran seorang sopir angkot membuat saya akhirnya bisa menuju tempat saya dan teman saya janjian untuk bertemu.

Pertama kali bertemu dengan sopir angkot yang jujur, saya fikir itu hanya sebuah kebetulan belaka. Jakarta telah mengajarkan saya untuk tidak bertanya rute bus atau angkot pada sopirnya, kernetnya atau orangorang yang kita temui di pinggir jalan. Jakarta juga yang mengajarkan pada saya untuk hanya bertanya pada satpam atau polisi, jika kita tidak mengetahui rute bus atau angkot menuju suatu tempat. Persepsi ini terus memenuhi ingatan saya, ketika awal-awal keberadaan saya di Bandung. Dan awalnya, jadilah saya sebagai orang yang tidak percaya pada sopir angkot atau kernetnya.

Ternyata saya salah. Keadaan ekonomi yang serba sulit saat ini tidak membuat sebagian besar sopir angkot yang saya temui di Bandung menjadi gelap mata. Kejujuran tetap menjadi bagian cerita hidup mereka di tengah lakon kehidupan sekarang, yang menuntut perjuangan hidup yang sungguh berat. Mereka tetap berkata iya, jika rute angkot tersebut memang melewati tempat yang saya tuju dan berkata tidak, ketika rute angkot yang akan saya naiki memang tidak melewati tempat yang akan saya tuju.

Iya, fet. Sopir angkot di Bandung itu memang jujur. Tidak semuanya, sih. Tapi sebagian besar akan berkata iya jika rute angkotnya melewati tempat yang akan kita tuju dan berkata tidak jika ternyata rute angkotnya tidak melewati tempat yang akan kita tuju, begitulah penjelasan seorang teman baru saya di Bandung.Dan saya sudah menemukan bukti dari penjelasan teman baru saya itu. Bukan hanya sekali.

Ah, andaikan kejujuran itu bukan hanya menjadi milik sopir-sopir angkot di Bandung, batin saya. Andaikan kejujuran itu menjadi milik semua orang Indonesia, lanjut batin saya. Andaikan kejujuran itu menjadi milik semua orang, batin saya berkata lagi. Andaikan kejujuran itu menjadi milik semua orang di dunia ini, kembali batin saya menggumam. Alangkah indahnya dunia ini. Dipenuhi dengan orang-orang yang jujur. Tapi, adakah saat itu akan saya temui?, batin saya bertanya.

No comments:

Post a Comment